Setiap kali aku mendengar kabar dari ibu tentang kerabat atau saudara yang akan melangsungkan lamaran atau pernikahan, dadaku seperti terbakar. Sama seperti ketika aku mendengar kabar serupa dari kawanku. Ketika mendengar kabar-kabar itu, sebenarnya aku tak benar-benar bahagia. Aku tak benar-benar ingin datang dan merayakannya. Aku ingin selalu mendoakan agar langkahnya tak mudah, hidupnya tak bahagia, dan akan selalu tersandung duka dan lara.
Ada kalimat yang selalu berhenti di tenggorokan: aku juga ingin. Aku juga ingin memiliki pasangan, melaksanakan lamaran, lalu menikah. Namun, alih-alih aku mengutarakan keinginan ini, aku lebih penasaran dengan siapa aku akan menghabiskan sisa hidupku. Untuk memenuhi rasa penasaran ini, kupikir jalan satu-satunya adalah membunuh banyak orang dan menyisakan satu orang yang akan menjadi suamiku.
Manusia-manusia pertama yang aku bunuh adalah kekasih dan mantan kekasih adik-adikku. Kalau mereka tidak memiliki kekasih atau mantan kekasih—yang kurasa tidak mungkin—, aku akan membunuh perempuan yang membuat mereka jatuh hati. Adik-adikku tidak boleh lebih dulu bahagia dariku. Ah, dunia ini sungguh tak adil. Aku telah membayar banyak hal untuk mereka, lalu mereka dengan mudahnya mendapat pasangan. Aku yang menderita, mereka yang serta merta bahagia.
Lalu manusia-manusia berikutnya yang akan aku bunuh adalah mereka yang pernah berujar kalimat-kalimat yang tak menyenangkan, kamudian membuatku terdiam lama, dan bertengger di kepala sampai saat ini. Mereka berbicara begitu mudahnya tanpa pikir panjang. Kalau aku tak mampu membunuh mereka, barangkali aku potong saja bibir atau lidahnya agar mereka tak perlu semena-mena lagi padaku. Mereka adalah yang pernah berbicara:
"Nikmatilah masa jomlomu." Tai anjing! Kurang menikmati bagaimana?!? Aku telah lama jomlo daripada ia. Ia yang tak kuat merasakan nikmat jomlo, sehingga menikah, lalu ternyata pernikahannya tak bahagia. Aku yakin suaminya telah mengekang geraknya dari kanan, kiri, dan tiga anak.
"Jadi perempuan jangan suka menggambar alis, terlalu berani, mandiri, pintar, bisa segalanya, dll. Nanti suamimu apa tugasnya?" Ketahuilah, manusia seperti ini adalah mereka yang tak bisa menggambar alis, tak bisa apa-apa, menggantungkan diri kepada orang lain, tak bisa bernalar logis, dan bodoh. Mereka berujar seperti ini karena mereka tak tahu bagaimana cara memuji. Sepanjang hidupnya mereka hanya menelan celaan. Kasihan sekali. Apakah harus kupotong saja telinganya agar mereka tak lagi bisa mendengar celaan dan cercaan yang menyakitkan itu?
"Menikahlah, jangan terlalu banyak menikmati hidup." Manusia seperti ini sebenarnya memiliki hidup yang tak jauh berbeda dari manusia yang pertama. Rumah tangganya tidak bahagia. Bedanya, ia ingin mengajak aku turut serta untuk merasakan nestapa yang tak kunjung usai itu. Beban yang ditanggungnya berat dan ia tidak bisa berkomunikasi dengan pasangannya. Sengsaralah hidupnya. Ah, kasihan betul.
"Kamu terlalu unik, punya cara pandang yang berbeda, ekspresif pula. Lelaki idamanmu di luar sana ada banyak. Tapi aku tak yakin apakah kamu adalah idaman mereka." Aku telah menelan kalimat serupa seperti ini selama bertahun-tahun. Sejak SMK hingga kuliah. Aku memang sudah melupakan betapa sakitnya hati ini karena terus mempertanyakan apakah aku harus mengubah diri. Tapi aku akan selalu mengingat nama mereka yang dengan entengnya mengucapkan kalimat tersebut. Barangkali ucapan mereka terbukti: tak ada laki-laki yang mengidamkanku. Barangkali mereka mudah menghasut manusia. Barangkali aku saja yang mudah terhasut oleh omongan mereka. Maka dari itu, aku bunuh saja orang-orang ini agar mereka tak menghasut laki-laki yang ternyata mengidamkanku.
"Jadilah seperti perempuan pada umumnya. Laki-laki tak suka perempuan seperti kamu." Tak sekali dua kali aku diminta untuk menjadi orang lain, lalu nantinya aku akan kehilangan diri sendiri. Orang-orang seperti ini sejatinya adalah tak punya jati diri. Makanya mereka bisa menjadi siapa saja agar bisa dicintai. Untuk manusia-manusia ini, barangkali aku akan penuhi permintaannya untuk menjadi orang lain. Aku akan mengelupas kulit wajah mereka dan memajangnya di etalase agar mereka bisa bergantian ingin memiliki wajah seperti apa dan menjadi siapa.
"Sudahkah kamu menyelesaikan trauma masa lalumu?" Aku sungguh betul ingin membantah apakah di KUA nanti ada tes penilaian penyelesaian masa lalu. Kalau belum 100% beres, tidak boleh menikah! Konyol, aku seperti akan menikah dengan malaikat saja yang tak punya masa lalu dan dosa. Dikiranya aku juga tak punyai kesadaran diri dan tak mampu mencintai seseorang dengan segala traumanya, lalu aku tidak diperbolehkan untuk menikah sebelum seluruh trauma yang pernah aku miliki hilang dan musnah. Orang-orang seperti ini akan aku kurung di dalam sel-sel sempit tanpa makan tanpa apa. Agar mereka bisa menjelajahi masa lalu dan masa depan, kemudian menghadapi dengan gagah segala trauma dan ketakutan yang katanya sudah mereka damaikan.
Setelah aku membuat orang orang ini tak bisa bicara lagi, atau mati, aku akan membunuh seluruh pasangan-pasangan. Pasangan suami istri, pasangan yang akan menikah, atau pasangan kekasih. Aku tak peduli umur. Seluruh manusia yang telah berpasangan akan aku bunuh. Aku mungkin bisa membunuh perempuannya saja, tapi aku tak mau merebut lelaki dari seorang perempuan lain untuk kebahagaiaanku sendiri. Aku tak mau menyakiti perempuan lain. Maka aku bunuh saja dua-duanya. Lalu, jika mereka memiliki anak, aku juga akan membunuh anak yang tak berdosa itu. Aku tak mau mereka menjadi anak yatim piatu yang terlunta tanpa orang tua. Aku tak tega.
Selanjutnya, aku akan membunuh seluruh perempuan yang tidak berpasangan. Aku tak mungkin menikahi perempuan. Kemudian setelah perempuan-perempuan ini mati, muncullah laki-laki yang melolong menangisi perempuan yang dicintainya telah tiada. Mereka akan kebingungan bagaimana menghabiskan hidup tanpa perempuan-perempuan ini. Maka aku permudah saja hidup mereka dengan membunuhnya. Agar mereka tak kesusahan lagi atau bingung bagaimana menghabiskan hidup tanpa perempuan yang dicintainya. Laki-laki yang mencintai perempuan lain juga tak akan mungkin dengan mudahnya berbelok langsung menginginkanku.
Manusia terakhir yang aku habisi adalah laki-laki yang usianya terlalu muda atau terlalu tua untukku. Aku tidak mungkin menikahi seseorang yang berusia tujuh belas tahun.
Lalu tersisalah laki-laki yang tidak memiliki pasangan dengan usia yang tak jauh berbeda denganku. Untuk mempertahankan hidupnya, mereka harus bertarung. Aku akan menyediakan banyak babak untuk mereka lewati. Modal yang mereka harus miliki hanyalah isi kepala yang kaya. Pertarungan sengit ini barangkali akan seperti acara Kuis Siapa Berani atau Rangking Satu. Mereka akan mempertaruhkan pengetahuan mereka dengan berbagai soal dan pertanyaan.
Jika kandidat sudah menipis menjadi sepuluh, tes terakhir adalah tes berkencan dengan penilaian yang sangat subyektif dariku. Kencan yang akan kami lakukan akan penuh dengan obrolan seperti tes wawancara tapi akan lebih mudah karena aku tak perlu menanyakan beberapa hal seperti: mantannya, saudara-saudaranya, atau bahkan orang tuanya. Karena barangkali mereka telah aku bunuh dan perjalanan kami ke depan tak akan lebih mudah tanpa adanya hal-hal tersebut.
Dari sepuluh kandidat ini akan aku saring lagi menjadi lima dan aku akan memilih satu laki-laki yang paling cocok denganku.
Lalu bagaimana jika sampai akhir pertarungan tak ada satu kandidat pun yang lolos? Bagaimana jika setelah membunuh laki-laki dengan usia yang terlalu muda dan terlalu tua, tak ada satu laki-laki pun yang tersisa? Tak jadi masalah. Kalau memang betul tak ada laki-laki yang tersisa, artinya memang betul tak ada laki-laki yang ditakdirkan untukku. Buktinya sudah jelas; teramat jelas.
Ketika sudah pasti tak ada laki-laki yang ditakdirkan untukku, aku akan menghabiskan sisa hidupku dengan keluargaku: bapak, ibu, dan kedua adik-adikku. Tak jadi masalah jika memang aku akan menghabiskan sisa hidupku seorang diri. Toh aku sudah melakukannya selama 30 tahun ini. Kami akan merayakan pembuktian yang jelas terbukti. Kami akan habiskan sisa waktu di dunia ini dengan rasa sepi berlima. Kami akan sama-sama sengsara dan kesepian. Setidaknya tidak hanya aku yang tidak bisa menikah. Adik adikku juga. Kami akan menjadi lima manusia terakhir yang ada di bumi.